Perlahan bias-bias halus yang bagai dituangkan dari langit menimpa
tubuhku. Semakin lama semakin banyak. Terasa dingin mulai menggigit tubuhku.
Lalu merayap menebus tulang. Terasa sangat ngilu dan menyiksa sekali.Aku
melihat bias-bias halus yang dingin itu menimbuni tubuhku yang tidak
bergerak-gerak, dan tak berdaya. Aku membenci ketidak berdayaan seperti ini.
Aku memang benci dengan kata tidak berdaya. Dingin yang disebabkan timbunan
bias-bias halus itu semakin menyiksa. Dingin semakin tajam menggigit
jari-jariku hingga terasa sangat beku.
Ah…. Aku tak bias membiarkan tubuhku sedemikian rupa tanpa melakukan apa-apa
sama sekali! Aku merutuk meradang dan memaki-maki pada seonggok tubuh yang diam
itu.
Lantas dengan menghimpun bias-bias dari langit itu, aku menyusup ke
dalam onggokan tubuh diam itu. Terasa beku karena dibalut dingin yang terlalu
lama. Dan sekarang bias-bias dingin itu bagai membari kekuatan untuk segera
melawan kebekuan yang diakibatkannya, lalu perlahan, ujung jariku bergerak,
terus menuju bagian bawah dan kakikupun bergerak pelan.
Aku
berhasil!
Ternyata bias-bias embun yang
menebal di tubuhku membuat aku merasa kedinginan. Syaraf-syarafku yang
semula terasa mati, pelan-pelan mulai bekerja dengan baik. Kurasakan
rumput-rumput tempat aku tergolek juga basah oleh embun malam. Langit lewat
tengah malam masih rajin menuangkan bias-bias dinginnya. Dan terasa konyol
sekali bila membiarkan tubuhku berbaring terus-terusan di atas rerumputan yang
dingin.
Setelah menghimpun kekuatan penuh, aku
bangkit dan terasa ada sedikit keanehan pada tubuhku. Teras lebih ringan dan
kuat. Pandanganku terasa demikian jauh menebar menembus kegelapan semak-semak
rapat di depan sana.
Sesaat
aku terpaku begitu mendengar gemerisik air sungai yang begitu nyaring. Disambut
dengan kesiuran angin yang mengibas-ngibas pendengaranku. Hei, ada apa ini? Aku
semakin heran dengan keanehan yang terjadi pada diriku sendiri tanpa aku tahu keanehan apa itu?
Masih
dengan bingung aku merayap di kegelapan malam. Menyibak semak-semak yang
menghalangi langkahku. Namun aku bias melihat dengan baik. Dan jarak pandang
yang luas, membuat aku bagai merasa mempunyai sepuluh pasang mata saja.
Mengeluh
aku menaiki tanjakan untuk bias sampai ke bibir jalan raya. Sebentar saja
jalanan lenggang telah membentang dihadapanku. Dari tempat aku berdiri tampak
sebuah jembatan tua yang melintang di atas sungai. Yang membatasi
kompleks perumahanku dengan kampung sebelah.
Beberapa
buah lampu jalan bersinar redup menerangi sepanjang jembatan tua itu. Dari
sinarnya, aku dapat menangkap pantulan bias-bias embun yang berjatuhan dari
langit kelam. Aku menggigil begitu angin lembab menerpa tubuhku. Terdengar
nyaring dan aneh. Apalagi gemercik air sungai di bawah sana yang membuat
perasaanku menjadi tidak enak. Tiba-tiba aku menjadi tidak suka suasana seperti
ini.
Aku
seperti melihat sesuatu. Cepat aku melangkah ke arahnya. Ah! Sepedaku
tergeletak begitu saja di pinggir jalan. Setelah ku periksa sedikit lecet dan kerusakan
tak berarti pada beberapa bagian. Tak apalah, yang penting masih bisa di pakai untuk mendatangi tempat
nongkrongku bersama teman-teman di kampong sebelah, seperti rencanaku
sebelumnya.
Aku
mulai mengayuh sepedaku. Memasuki mulut jembatan tua yang remang-remang
penerangannya itu. Sementara itu kesiuran angin menimbulkan perasaan aneh.
Gemercik aliran air sungai di bawah sana terasa menggangguku, aku tidak
menyukainya. Buru-buru aku mengusir bayangan buruk yang mengusik perasaanku itu
dengan mengingat-ingat peristiwa sepanjang pagi tadi.tapi yang terpampang
justru pertengkaran papa dan mama.
“Lama-lama
aku semakin tidak menyukai mereka,” kataku ketus. Ajik menoleh tak mengerti
dengan mulut yang asik menggiriti rumput. Saat itu kami berada di belakang
laboratorium sekolah, tempat terpencil, dan paling sepi di sekolah. Punggung
kami bersandar pada dinding sumur tua yang sudah tidak terpakai lagi. Sementara
rumput menyemak di sana-sini di bawah kerindangan pohon sukun.
“Mereka?”
Ulang Ajik meringis, sambil meludahkan batang rumput yang mungkin sudah terasa
pahit.
“Orang
tuaku.”
“Ribut
lagi?”
“Ahh, kamu jangan terlalu cengeng.
Udah klasik. Jadi tinggal kitanya saja jangan terlalu larut di dalamnya.” Ujar
Ajik berusaha bijak.
Aku mengerutkan kening, meliriknya
heran.
“Eh,
aku udah enggak mikirin lagi apa yang diperbuat oleh orang tuaku. Ingat kamu
enggak beda jauh denganku, jadi jangan cengenglah!”
Aku
kembali mengendus, meskipun sudah hal yang klasik dan terlalu banyak kelurga seperti
itu, rasanya selalu saja aneh dan membingungkan. Dimana-mana kita pasti
mengharapkan tinggal dalam keluarga yang berbahagia, damai dan selalu
menyayangi. Namun, terkadang harapan tidak selalu terkabul.
“Udah
Gus, jangan terlalu dipikirin. Selama mereka masih memenuhi kebutuhan dan digit
rekening kita selalu bertambah, buat apa memusingkan apa yang mereka perbuat?
Toh, kenyataan mereka juga enggak ambil pusing dengan keberadaan kita
ditengah-tengah mereka.”
Ajik
melemparkan asap berbentuk acak ke udara.
Ah,
aku yakin sebenarnya dia juga ingin menghibur dirinya sendiri, dan berusaha
tampak biasa dihadapanku. Keadaanya memang tidak bebeda denganku, namun ia
berusaha menegarkan diri.
Bel
memecahkan kebisuan yang tercipta begitu saja. Aku langsung bangkit, diikuti
oleh Ajik.
“Eh
jangan lupa nanti malam. Kalau kamu mau datang, datang aja. Di kampung kita bakal ada pesta,” ujar
Ajik mengingatkan, lantas melangkah ke kelasnya.
Aku
mengerti pesta macam apa yang akan diadakan Ajik dan teman-temanku yang lain di
kampung. Kampung memang tempat kami biasa
berkumpul. Semuanya diawali ketika… huh, kembali suara-suara meradang membuatku
tercekat. Aku menggerutu meski aku sudah terbiasa dengan hal demikian. Orang
tuaku saling mamaki dan menyudutkan bahwa merekalah yang paling benar. Mereka
tidak tau betapa egoisnya mereka di mataku.
Aku
tidak jadi menegak air dalam botol yang baru saja ku ambil, karena
tenggorokanku terasa sangat kering dan haus sekali, tadi. Mereka belum juga
berhenti. Aku menggigil menahan marah yang menyerang dadaku hingga
menggelegak.serta merta aku membanting botol di tanganku ke diding.
Prang!!!
Mendadak
hening, aku melintas tanpa suara didepan mereka. Lalu menyambar sepeda balapku
di bawah pohon palem. Betapa terbiasa aku dengan pertengkaran mereka. Namun,
tetap saja aku tidak menerimanya.
Aku
memacu sepedaku kencang-kencang. Membiarkan kesiuran malam merenggut gundahku..
sekarang terlihat di depanku mulut jembatan tua yang menghubungkan kompleks
perumahanku dengan kampung sebelah. Cahaya lampu malam yang temaram
membentuk bayangan di sepanjang jembatan peninggalan
zaman kolonial itu. Aku memacu sepedaku
laksana petir. Dan sudah tak sabar lagi untuk melintasinya. Siuran angin makin
deras menampar-nampar daun telingaku. Namun, entah bagaimana, tiba-tiba sebuah
dorongan kuat berderu kencang sampai terpelanting sepedaku. Entah bagaimana
bias membuatku melaju dengan kecepatan kilat menuju lempengan baja di pinggir
jembatan tua itu. Aku sadar sesuatu yang dahsyat telah terjadi pada diriku. Tapi aku tidak
bias berbuat apa-apa, selain sedikit memalingkan muka, karena sebentar lagi
takdir itu akan berada di atas diriku. Setelah itu gelap melumatkan diriku.
Huh
semoga saja aku tidak terlambat datang ke pesta Ajik. Sedan brengsek itu telah
menghambat perjalananku, karena membuatku tergeletak cukup lama. Sekarang
tiupan angin terdengar begitu tajam dan nyaring. Dan kayuhanku terasa lebih
ringan dan cepat sekali.
Sebentar
saja aku telah berdiri di depan rumah basar itu. Hentakan music memenuhi kampong.
Pesta sedang berlangsung. Aku memencet bel berkali-kali karena aku tak segera
mendapat perhatian. Beberapa lama kemudian pintu terkuak dengan Wedo berdiri di
tengahnya.
“Sori
aku telat …” kurasakan suaraku jauh dan dalam. Tapi kenapa Wedo terbelalak
pucat dengan wajah pias ketakutan begitu? Kemudian terdengar jeritan yang
melengking tinggi… membuatku melengak kaget.
Kemudian, tiba-tiba Wedo jatuh pingsan. Terdengar
langkah-langkah bergerubukan dari dalam. Rupanya jeritan Wedo barusan dapat
mengusik mereka. Sementara aku masih termangu di tempatku. Namun mengapa
wajah-wajah itu terlihat tegang dan merendek ketakutan? Tatapan mata nanar dan
biji mata mereka bagai hendak meloncat keluar.
“Hei
ada apa dengan kalian? Kalian tidak mengenali ku? Woi jangan melotot jelek
begitu, ini aku!” ujarku dengan suaraku yang dalam dan jauh sekali. Tapi mereka
malah merepet semakin ketakutan.
“Hei
aku bukan hantu!” makiku jengkel karena masih bersikap seperti orang tolol.
“K...
kamu bukan siapa-siapa. Kamu tak berkepala d-dan kamu melayang..” gumam ajik
dengan susah payah, dengan suaranya yang bergetar dan ketakutan.
Hah?
Aku langsung meraba bagian atas leherku. Terasa kosong dan dingin. Hei, mana
kepalaku? D-dan aku tidak menginjak ubin?
“Huaaaaa…!!!”
Aku menjerit ketakutan, belum bisa
menerima keadaanku yang begini rupa. Tak kuhiraukan teman-temanku yang langsung pingsan mendengar
suaraku menjerit. Ja .. jadi sedan sialan itu telah mengubahku menjadi hantu?
Aku langsung menyambar sepedaku, yang ternyata hanya sebuah patahan kayu
kering. Lalu aku berbalik ke arah jembatan tua itu lagi.
Aku
harus menemukan kepalaku! Tekadku marah. Jembatan itu sudah banyak memakan
korban. Mulai dari pembangunan oleh para pekerja kolonial, hingga tumbal yang
dimintanya berupa anak kecil. Belum lagi beberapa kecelakaan aneh yang
menyertainya. Dan sekarang giliran kepalaku!
Sesampainya
aku di mulut jembatan itu, tampak sepeda balapku yang hancur di pinngirnya.
Jelas sekalibetapa keangkuhkannya yang jumawa meledek ku. Bahwa ia telah
berhasil mendapatkan tumbal lagi. Huh!
Aku
bergegas ke- tempat lempengan baja tipis yang telah menebas leherku, ketika
melesat kencang akibat di tabrak sedan itu dari belakang. Tampak bekas darah di
sana. Kemudian aku memperkirakan kemana kira-kira terpentalnya kepalaku.
Tapi hingga berjam-jam kemudian aku sama sekali tidak berhasil
menemukannya. Padahal semua sudut dan semak-semak di pinggir sungai di bawah jembatan
sudah ku obrak-abrik, namun sia-sia.
Aku
tidak menemukan kepalaku. Ingin rasanya aku menangis karena sebentar lagi malam
akan berganti pagi. Terpaksa pikiranku berhenti dulu. Tapi aku tidak menyerah
begitu saja. Dan akan tetap mencari.
Aku
harus menemukan tempat bersembunyi sebelum langit terang. Karena jelas tidak
mungkin aku berkeliaran dengan keadaan seperti ini. Dengan gundah, terpaksa aku
hanya bisa mendekam di balik semak-semak smabil terus memperhatikan
sekelilingku.
Tolong
jika sewaktu-waktu kalian menemukan kepalaku, KEMBALIKAN!!!!!!!!!!!!!
*****
gak kepikiran ehh :D
BalasHapus